Mimpi Kita

Standar
Mimpi Kita

*

          Derap langkah dua bocah kecil menyusuri jalan yang becek karena guyuran hujan semalam. Langkah mereka cepat, namun hati-hati, takut jika sampai terpeleset seragam putih mereka akan terkena lumpur.

      “Udin, bisakah kau memperlambat jalanmu?” Gadis kecil itu berteriak dari belakang sambil tergesa-gesa menyusul sahabatnya yang sudah jauh di depan. Bukan tak bisa mengimbangi, hanya saja dia harus memilih jalan dan menghindari lubang-lubang genangan lumpur.

           Di desa tersebut memang belum ada jalan alternatif lain yang lebih baik untuk menuju sekolah. Jalan itu satu-satunya yang harus mereka tempuh setiap harinya. Jika musim hujan, jalan menjadi becek dengan genagan lumpur di mana-mana. Begitu pula sebaliknya, jika musim kemarau, jalan akan berdebu karena memang masih berupa tanah yang belum diaspal.

      “Kau percepat saja langkahmu, Mae! Kita hampir telat.” Yang di depan menyeru supaya gadis kecil tadi mempercepat langkahnya.

          Udin tak ambil pusing mengambil langkah, dia sudah hafal mati jalan itu. Langkah kaki kecilnya dengan lihai menghindari setiap lubang genangan lumpur. Sesekali dia meloncat. Dan lihat saja, sepatu yang kemarin dia cuci bersih sekarang terkena percikan lumpur. Dia tak peduli.

        Kedua bocah itu sampai di depan pagar sekolah. Di halaman sekolah, murid-murid lain sudah berbaris rapi mengikuti upacara bendera. Yap, ini hari senin dan mereka terlambat memasuki barisan upacara bendera. Mae menghembuskan nafas lelah, karena mengejar Udin yang melaju cepat bagai seekor Kijang. Dia punya firasat buruk, takut kalau mereka akan dihukum.

        “Tenang, Mae. Usaha yang bagus! Besok-besok kecepatanmu akan meningkat sendiri, hehe.” Cengir Udin sambil mengacungkan dua jempol, menghargai usaha Mae yang pontang-panting mengejarnya. Sebenarnya dia tak tega melihat Mae yang bernafas tersengal-sengal, dan sepagi ini mereka sudah berkeringat. Itung-itung sebagai olah raga.

           Mae berusaha mengatur nafas, membenarkan rambut panjangnya yang tergerai berantakan. Sialnya, sebelum berangkat tadi tidak sempat diikat karena Udin menyuruhnya agar cepat-cepat.

***

        Bel menunjukkan waktu istirahat, mereka menghela nafas lega. Suasana kelas yang tadinya tenang menjadi sangat ramai. Pak Guru segera mengintruksi kepada mereka untuk mengumpulkan lembar  jawaban. Ada yang cepat-cepat ingin keluar membeli jajanan, ada yang menghampiri temannya ke meja lain, ada yang sibuk memperlihatkan mainan baru yang dibawa, dan masih banyak lagi yang mereka lakukan. Di salah satu sisi ruangan terlihat seorang anak yang tampak gelisah, sepertinya dia mengkhawatirkan sesuatu.

          “Udin, bagaimana ulanganmu tadi? Ada satu soal yang tak bisa aku kerjakan” Mae yang langsung menghampiri Udin setelah mengumpulkan lembar jawaban, terlihat kecewa dan mengadukan padanya karena tak bisa memecahkan satu soal ulangan Matematika tadi.

           Udin tak menjawab, dia hanya memandang Mae dengan tatapan masyigul.

          “Kau baik-baik saja kan, Din? Apa kau sakit? Kau terlihat pucat.” Sekarang kekhawatiran itu muncul di wajah Mae.

           “Aku baik, Mae, hanya saja aku tak yakin dengan hasil ulangan tadi. Aku belum sempat belajar karena kemarin aku harus membantu Bapak di sawah seharian. Emak sakit Mae, dan malamnya aku menyelesaikan jahitan pesanan Wak Yati.” Wajah khawatir itu kini mulai memudar, sedikit lega bisa bercerita. Memang seperti itulah Udin, sebagai anak sulung di keluarganya, ia harus membantu pekerjaan orang tuanya. Dia harus belajar tanggung jawab, meski sekarang usianya baru 10 tahun. Pada usia anak yang baru senang-senangnya bermain, dia sudah bisa menyelesaikan beberapa pekerjaan orang dewasa. Sungguh luar biasa orang tuanya mendidiknya. Udin tumbuh dengan pemahaman yang baik tentang kehidupan. Meski demikian, dia tak merasa kehilangan waktu untuk bermain, belajar, dan seterusnya. Orang tuanya tak pernah memaksanya untuk bekerja, itu semua muncul atas kesadarannya sendiri.

          “Aku tahu kau, Din. Kau anak yang cerdas. Walau tak belajar sekali pun, kau selalu dapat nilai tertinggi kan di kelas?” Mae berusaha menghibur Udin. Memang benar, apa yang dikatakan Mae.

           “Semoga Mae, meski aku sendiri tak yakin.”

         “Hmm, sudahlah. Ayo Din, kita keluar! Hari ini kau kutraktir, aku dapat uang saku lebih dari Mamak.” Ajak Mae sumringah, sambil menarik tangan Udin. Yang ditarik hanya bisa pasrah mengikuti.

***

         Waktu melesat begitu cepat. Tak terasa ujian kelulusan sudah di depan mata. Kejadian setahun lalu menjadi pelajaran bagi Udin untuk tidak mengabaikan ‘belajar’ sebelum ulangan. Ternyata perkiraan Mae salah, hari itu Udin tak seperti Udin yang biasanya. Hasil ulangannya menyedihkan, beruntung Udin punya kesempatan untuk memperbaiki.

           Siang ini mereka sedang berada di rumah pohon yang mereka sebut sebagai markas. Itu merupakan salah satu tempat rahasia mereka. Di sana mereka bermain, belajar, bertukar pikiran, dan membahas masa depan. Kali ini mereka membicarakan kemana mereka akan melanjutkan SMP. Mae ingin melanjutkan SMP ke kota kabupaten, sedang Udin ingin melanjutkan ke daerah kecamatan saja, yang agak dekat dengan rumah dan bisa setiap hari pulang supaya tetap dapat membantu pekerjaan orang tuanya. Itu artinya mereka harus berpisah? Tidak juga. Karena akhirnya Mae yang mengalah dan memutuskan tetap bersama Udin, yaitu melanjutkan SMP ke daerah kecamatan.

           Pembahasan mereka berlanjut mengenai impian. Cita-cita besar mereka. Jika sudah berbicara tentang impian, Mae lah orang yang paling bersemangat bercerita. Mae menggebu-nggebu menceritakan cita-cita besarnya. Menjadi penulis dongeng. Memang agak aneh, penulis dongeng mungkin bagi sebagian orang bukanlah cita-cita yang menarik apalagi besar. Namun, bagi Mae tidak. Penulis dongeng adalah cita-cita yang besar. Dongeng di sini adalah tentang kisah perjalanan orang-orang yang tak pernah berhenti percaya dengan harapan. Mae tumbuh dengan cerita dan dongeng-dongeng dari mamaknya. Setiap malam menjelang tidur, Mamak selalu bercerita mengenai orang-orang yang teguh, berhati besar, dan senantiasa kuat. Percaya dan yakin bahwa setiap doa dan harapan akan mendapat jawaban. Tak peduli seberapa lama ia harus menunggu, seberapa menyakitkan ia menjalani hidup dengan harapan yang menyesakkan dada, tak bosan bertahan dan terus menunggu. Tentu selama menunggu bukan hanya berdiam diri, melainkan menjalani waktu sebaik mungkin untuk memperbaiki diri. Kadang dengan melakukan hal-hal yang ‘gila’ sekalipun. Itu sebabnya Mae suka bercerita. Entah seperti apa tanggapan orang, dia terus bercerita membagi dunianya.

          Memang, kenyataan hidup bukanlah seperti dalam dongeng-dongeng. Yang semua kisah akan berakhir dengan bahagia. Putri dan pangeran akhirnya bertemu, dan mereka hidup bahagia bersama selama-lamanya. Tidak! Bukan seperti itu. Kenyataannya memang lebih kompleks, dan tak jarang justru sebaliknya. Namun, bagi orang-orang yang percaya hidup akan lebih baik, maka itulah yang akan mereka peroleh.

         “Menurutku menjadi penulis dongeng bukan hal yang buruk, Mae” Udin yang sejak tadi menjadi pendengar kini mulai angkat bicara.

           “Tentu saja bukan. Dengan menjadi penulis dongeng, aku ingin menginspirasi anak-anak di seluruh negeri ini. Membuat keyakinan pada mereka untuk tidak berhenti percaya bahwa hidup bisa saja seperti dongeng.” Kepercayaan diri Mae meningkat setelah Udin setuju bahwa menjadi penulis dongeng bukanlah hal yang buruk. Tentu tidak ada cita-cita atau pekerjaan yang buruk. Semua itu tergantung bagaimana kita menjalaninya.

          “Tapi, untuk menjadi seorang inspirator apa kau bisa? Kau kan cengeng! Haha..” kali ini Udin mengejeknya, dengan seketika mata Mae melotot. Bagai tatapan Singa yang siap menerkam mangsanya.

         “Kau meremehkanku? Jadi menurutmu apa hubungan cengeng dengan seorang inspirator? Hmm… baiklah, akan kubuktikan. Suatu saat kau akan terinspirasi padaku.” Balas Mae dengan keyakinan seribu kali lipat, tapi dengan tampang manyun.

          “Iya, iya… begitu saja ngambeg. Dasar anak cewek memang sensitif. Liat tuh kalau manyun jadi makin imut” Udin menambahi dengan sedikit gombalan.

         “Udin… kau menyebalkan sakali..!!” kali ini Mae langsung menjulurkan tangannya mengacak rambur Udin yang njegrag-njegrag seperti landak.

         Dua sahabat itu kini saling menyerang, mengacak rambut, dan tertawa bersama. Sungguh menyenangkan. Sayangnya kebersamaan itu terhenti ketika mereka akan melanjutkan SMA. Mereka harus berpisah, karena Udin mendapat beasiswa di Jakarta. Dan Mae? Mae hanya melanjutkan di kota kabupaten.

***

          Malam itu tak akan pernah dilupakan Mae, ketika Udin berlari tergopoh-gopoh menghampiri Mae yang sedang mengaji di surau. Udin selesai mengaji lebih awal sehingga dia pulang dulu. Waktu itu Udin kembali ke surau dengan membawa selembar kertas hasil pengumuman penerimaan beasiswanya. Ketika Mae selesai menyetor hafalannya, dia segera menemui Udin yang berdiri di depan pintu surau.

        “Mae, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu” Udin menarik tangan Mae keluar, agak menjauh dari surau supaya pembicaraan mereka tidak terganggu.

           Mae belum sempat menjawab, dia hanya mengikut karena tangannya ditarik.

       “Mae, sebelumnya aku minta maaf karena mungkin ini sangat mendadak. Aku hanya bingung bagaimana caranya bilang ini padamu. Sebenarnya ini sudah kuperoleh seminggu yang lalu.” Udin sangat hati-hati mengatur kalimat, lalu menyerahkan selembar kertas yang dia bawa.

         Mae menerima dengan ragu dan mulai membacanya. Wajah Mae seketika berubah dari rasa penasaran menjadi kecewa. Matanya berkaca-kaca.

        “Aku tahu Mae, kau mungkin kecewa. Aku minta maaf, telah melanggar kesepakatan kita.” Udin tertunduk lesu mendapati Mae yang berkaca-kaca.

       “Udin, apa yang kau katakan? Justeru aku senang kau bisa sekolah di kota besar itu. Dengan begitu, kau akan segera mewujudkan impianmu sebagai seorang penegak hukum. Aku bahagia, asal kau bahagia. Kau kan sahabatku, mana mungkin aku kecewa. Sudah saatnya kita mengambil jalan kita masing-masing. Jaga dirimu baik-baik di sana. Aku janji akan selalu mengirim surat untukmu. Kita bisa bercerita melalui surat itu. Tak ada yang buruk kan? hehe” Mae berusaha menyembunyikan kesedihannya. Membendug air yang hampir jebol dari pelupuk mata pandanya.  Sebenarnya dia sangat sedih akan berpisah dengan Udin, sahabatnya dari kecil ketika mereka belum bisa berjalan hinga kini mereka bisa berlari.

        “Mae, aku janji akan selalu membalas surat yang kau kirim. Dan kupastikan, aku akan kembali suatu saat nanti dengan mimpi kita.” Udin berkata mantap dan lansung memeluk Mae.

       Air mata itu akhirnya tumpah dalam pelukan. Mereka berpelukan sangat erat, layaknya sahabat yang tak akan bertemu dalam waktu yang lama.

***

10  tahun kemudian..

          Seorang gadis sedang berdiri di tengah-tengah sawah yang menghampar hijau. Rambut panjangnya yang hitam tergerai melambai-lambai tertiup angin. Pandangan matanya menyapu seluruh bagian pada sudut sawah, mengisyaratkan kerinduan yang begitu dalam. Sekali-kali dia merentangkan kedua tangannya, menyambut angin yang bertiup lembut menerpa wajah dan sweeter biru cerah yang dia kenakan.

       “Aku selalu merindukan ketenangan seperti ini. Empat tahun bukanlah waktu yang lama atau sebentar. Dan tempat ini selalu sama. Tak ada yang berubah.” Wajahnya menyungging senyum. Senyum manis yang tak pernah pudar semenjak sepuluh tahun yang lalu ketika dia harus berpisah dengan sahabatnya secara fisik.

      Sepeninggal Udin ke Jakarta, Mae melanjutkan SMA ke kota kabupaten. Memulai hidup dengan dongeng pertamanya. Semenjak itu dia menulis dan terus menulis. Menginjak usia 17 tahun, dia sudah mendirikan taman bacaan  yang dipenuhi dengan dongeng-dongeng karyanya. Disamping menyibukkan diri dengan menulis, dia juga membuka kelas mendongeng. Awalnya tak banyak yang tertarik, namun dengan kepandaian Mae yang jago membawakan dongeng dan bercerita, anak-anak mulai tertarik untuk belajar mendongeng dan menulis dongeng mereka sendiri. Satu hal yang tak Mae sadari, ternyata dia sudah menjadi inspirator di kalangan anak-anak. Hal yang besar memang selalu bermula dari hal-hal kecil. Hari-harinya kini dikelilingi oleh anak-anak. Mereka menjadi bagian penting dalam hidup seorang Maemuna, gadis pemimpi yang menyakini hidup seperti dongeng. Selepas lulus SMA, Mae melanjutkan kuliah ke Prancis.

       Kini Mae sedang menumpahkan kerinduan pada kampung halamannya. Hamparan sawah hijau, yang dulu merupakan tempat bermain bersama Udin. Saling berkejaran di pematang sawah, dan tak jarang mereka terjembab pada genangan lumpur. Jika sudah begitu, mereka akan membersihkan diri di sungai yang tak jauh dari sana. Arusnya tenang, dan airnya jernih. Gemericik airnya memberi kadamaian.

         “Udin, bagaimana kabarmu? Apa kau masih ingat janjimu untuk menemuiku jika mimpi kita sudah terwujud? Aku sudah mewujudkan mimpiku.” Mae berbisik sambil menutup mata, mengingat kajadian sepuluh tahun yang lalu.

         “Bukankah Aku sudah bilang, kalau Aku orang yang selalu mengingat dan menepati janji” suara yang tiba-tiba muncul dari belakang, membuat Mae kaget dan menoleh.

         Mae tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Udin. Berdiri gagah dengan senyum teramat manis. Sungguh dia tumbuh menjadi pemuda yang tampan. Walau tak banyak yang berubah dari garis wajahnya. Mata kejoranya. Alis tebalnya. Gigi taringnya yang memesona, dan lihat… rambut itu masih sama njegragnya dengan sepuluh tahun lalu, bedanya sekarang lebih rapi. Mae terdiam cukup lama. Tubuhnya terkunci. Apakah dia sedang bermimpi?

          “Udin, kau kah itu?” Mae tersadar.

          “hati tak perlu memilih, ia selalu tahu ke mana harus berlabuh. Mae, aku datang menepati janjiku padamu.”

*EH

Tinggalkan komentar