Di Situlah Aku Mengerti

Standar

     Jika cinta bukan hanya pada hati, maka mata ikut berbicara. Namun jika mata hati sudah berbicara, maka hati yang bermata tak butuh logika.

      Aku, kerapkali ia panggil namaku “Nana”. Sementara banyak orang memanggilku “Riz”.

    Ia berbeda dalam hati ini. Ketika aku mencintainya dengan atau tanpa bola mata. Dalam sanubari yang tak kutahu ukuran dalamnya. Dalam diam yang sebenarnya aku tak bisa. Dan dalam celoteh yang akhirnya mendiamkan lisanku.

     Aku mencintainya yang meninggalkanku. Kisah kami berlangsung. Oh, bahkan tidak pernah dimulai. Setahun merajut kasih tanpa ikatan, bermula dari sebulan setelah ulang tahunku yang ke-17 hingga satu minggu tahun berikutnya saat aku berumur 18 th. Jarak memisahkan kami. Kami mencintai namun tak ada mata untuk berkaca. Juga tak ada kata untuk bersua. Tak perlu bahu untuk kepalaku. Entahlah, aku mencintai tanpa mengerti dia, dan seperti apa, ada wujudnya. Hingga satu tahun berlalu dan kesakitan itu menderu menjadi jalan haru yang tak surut walau bulan-bulan baru, datang dan berlalu dalam 4 tahunku untuk menemukan cinta yang selanjutnya.

     “Nana”, nama itu sudah tak ada sejak kematiannya. Entah dimanakah surga ia berada. Yang jelas, hidupku tak berhenti sekalipun aku harus berulang kali tersungkur, terjatuh, dan merangkak berat untuk pulih. 4 tahunku yang kutahu telah kujalani. Aku berputar-putar miring dan terkadang berdiri tegak menyibukkan diri dalam hiruk-pikuk hari. Tak peduli hujan, terik, atau malam telah menyolekku, aku tetap tak hentikan tugasku. Harapku, kan kulupakan pilu atas semua memori tentangnya. 4 tahun, perlahan aku mampu. Mampu mengurangi ingatan tentangnya sekaligus mengurangi kesehatanku.

      22 tahun usiaku. Berpuluh-puluh lelaki menggoda, menghadang jalanku. Namun tak ada yang benar-benar bernyanyi untukku. Singkat cerita, kujatuhkan pilihan pada dia yang nada indahnya menarikku berdansa di antara melodi asmara yang kian hari kian melanda jiwa.

    Kami menikah. Dia, Zidni mencintaiku sepenuh hati. Dia imam yang baik yang selalu ada untukku disela-sela kesibukannya di kantor. Aku mengenalnya sangat baik. Dia selalu menjemputku seusai aku bekerja. Yah, sebagai penyiar. Jam kerjaku pukul 16:00-17:30 sore, pada sebuah radio di kota kami, “BeNeR or Best News Radio”.

       Tentu saja dia tidak melarangku sebab waktu luangku sangat banyak untuk keluarga. Dia mendukungku sepenuhnya. Kami hidup bahagia. Terlebih ketika dia tau kabar kehamilanku. Dia berusaha memenuhi semua yang kuidamkan. Tak peduli itu malam atau siang, hujan atau terik. Dia begitu mencintaiku dan calon anak kami. Ia tak membolehkanku mengerjakan apapun sendiri. Bahkan dia menyewa pembantu untuk rumah kami. Bukan satu atau dua, tetapi tiga pembantu sekaligus. Aku seperti permaisuri dirumah kami. Tanganku tak pernah lagi mengenal sapu, sabun cuci, bahkan setrika atau sekedar melipat bajupun tidak. Sampai….

       Sampai tiba waktuku seharusnya melahirkan anak pertama kami. Entahlah. Aku tak mengerti dengan jalan Tuhan. Aku harus terjatuh dan terhempas ke ladang kaktus di hamparan padang pasir yang tandus kemarau untuk kedua kalinya.

     Anak kami tak terselamatkan. Kata dokter, posisi janin kami terbalik. Yaa, hanya sedikit yang kutau. Entah apa saja yang diperbincangkan oleh dokter dan suamiku. Yang jelas, bayi kami tak terselamatkan. Hal yang lebih buruk dan mengguncangkan hati kami adalah, ketika medis mengatakan rahimku tidak siap untuk mengandung dalam kurun waktu 3 tahun setelah hari dimana seharusnya bayi pertamaku lahir. Dengan kabar itu, suamiku sama sekali tak marah. Dia tak berkata apapun. Batinku, “Mungkin dia diam untuk menghiburku. Dia tak ingin aku menangis dan berkeluh kesah. Jadi, Rizqina… kamu ibu yang kuat. Bertahanlah sayang!”.

     Hari-hari kami, berjalan seperti biasa selama 2 bulan berikutnya. Hanya 2 bulan. Setelah itu, semua berubah. Ia membiarkanku melakukan semua pekerjaan rumah. Ia memecat hormat semua pembantu rumah kami. Sesekali dia berkata, dan aku ingat sekali detail kata yang ia lontarkan, “Kamu tidak butuh pembantu. Itu akan lebih baik agar kamu tidak malas.”.

       Kata-kata yang semula manis, tiba-tiba saja berubah menjadi pahit. Kalimat yang miring akan terasa sepahit buah maja ketika yang mengucapkan adalah orang tersayang yang selalu ia balut lisannya dengan madu.

      Ia berubah total. Bahkan ia mulai mengungkit status keluarga kami. Keluargaku yang memang sederhana. Dan keluarganya yang ia sendiri lahir dan dibesarkan di lingkungan pesantren milik ke-dua orang tuanya. Dia sendiri adalah Gus (Julukan dari anak Kyai) yang ilmu agamanya baik. Dia telah mengarungi beberapa pesantren sekaligus sukses dalam study umumnya dikampus.

      Semua yang ia katakan, sangat menyakitkan. Ia menjadikanku terpuruk dalam nestapa yang seakan tak kunjung berakhir. Tak ada yang bisa ku katakan pada kedua orang tua kami. Mereka hanya tau jika rumah tangga kami baik-baik saja. Sekalipun pada akhirnya, kami berpisah. Aku tak bisa menghalau bendungan air yang sudah membumbung dan siap meluap.

        Orang tuaku tau perceraian kami. Umurku saat itu masih 23 menjelang 24 tahun. bagi mereka, itu masih sangat belia. Begitu masa iddahku selesai, mereka berusaha mencarikan suami untukku. Kesana dan kemari. Banyak sekali yang datang. Namun aku selalu menolaknya. Hingga 2 tahun berlalu dan aku masih sendiri. Yaa, umurku kurang satu bulan akan genap 26 tahun. Dan aku masih sendiri. Terjebak dalam trauma yang mendalam. Hingga bapak masuk rumah sakit dan dalam detik-detik terakhirnya, ia hanya memintaku untuk menerima orang yang akan datang berikutnya. Entah siapa dan bagaimana dia. Bapak telah menjodohkanku dengan seseorang. Seseorang yang sudah tentu tak mungkin ku tolak kehadirannya.

      Ia laki-laki yang rupawan, ku akui sejak pertama ia datang kerumah. Bukan. Aku mengenalnya sejak kami masih kuliah. Sejak aku masih semester 3. Dan dia tepat setahun di atasku. Tingkahnya santun dan bahasanya halus. Putra kyai. Mapan. Banyak sekali yang kagum akan sosoknya saat masih kuliah.  Dan ia datang padaku dalam keadaan, belum pernah menikah.

       Sungguh aku beku pada sikapku yang kaku. Ia begitu baik padaku. Ia menghormatiku lebih dari yang aku harapkan. Ia mengetahui status jandaku, namun ia tak pernah mempermasalahkan itu.

       Umurku 26. Ia tahu semua kisah masa laluku. Aku selalu dingin meski dalam pemaklumannya. Ia paham akan trauma berkepanjanganku. Apalagi semua yang ada dalam dirinya, mirip sekali dengan Zidni. Ia juga tau jika rahimku tak siap untuk mengandung hingga 3 tahun dari umurku yang ke-24. Aku tak lagi siaran. Aku hanya di rumah. Seperti mayat hidup,yang selalu ia anggap sebagai permaisuri istananya. Aku tak habis pikir kenapa ia menerima perjodohan ini. Padahal dengan semua yang ada padanya, dia bisa mendapatkan siapapun yang ia mau. Bahkan anak bupatipun bisa ia dapatkan jika ia mau. Tapi kenapa aku?. Hal itu semakin membuatku muak. Ingin rasanya aku berteriak dihadapannya. Ingin aku pergi dari istana yang selalu ku anggap penjara yang di jaga oleh malaikat sepertinya itu.

       Umurku 27. Dan dia belum pernah sekalipun menyentuhku. Ia tak pernah mencoba untuk itu. bahkan menciumkupun ia tak pernah. Aku tau itu sangat menyiksanya. Tapi aku tak ingin mencintainya. Aku tak ingin mencintai yang ketiga kalinya, hanya untuk ditinggalkan. Dan ia menghargai itu.

      Di satu sisi, ia terus meyakinkanku jika ia tak akan meninggalkanku hanya karena urusan dunia yang akan ada. Ia hanya bekerja, bekerja dan menyediakan kebutuhanku. Ia selalu bilang jika hadirnya bukan sebuah hutang budi yang harus ku bayar atas kerelaannya berkorban untuk menikahiku karena bapak. Dia menikahiku karena Allah. Dia mencintaiku sejak kami masih kuliah. Ia memperhatikanku dari jarak yang tak pernah kusangka. Pekerjaanku, pernikahanku, bahkan perceraian dan musibah yang menimpa keluargaku. Dia ada, hingga saat ia datang ke rumah walau ia tak yakin apakah aku masih mengenalnya atau tidak. Dan mulai saat itu, aku mulai memperhatikannya. Ketika sebelumnya hampir setiap malam, ia berceloteh sedang aku hanya terbaring lalu tidur.

      Ulang tahunku ke-28, adalah pertama kalinya ia menyentuhku. Aku tak lupa untuk mengatakan jika umurku sudah terlalu tua untuk memberinya seorang putra. Aku mulai bicara padanya. Mulai menangisi perlakuanku yang tak memperhatikannya lebih awal dari yang kubisa. Yaa, aku mulai mencintainya. Dan 3 bulan setelah itu, ternyata aku hamil.

      4 bulan kemudian, ia yang selalu ada disampingku, tiba-tiba pergi. Ia sering meninggalkanku dan kehamilanku untuk satu minggu bahkan terakhir, satu bulan. Sampai kandunganku berusia 8 bulan, dan ia tak ada di sisihku. Aku hancur. Namun aku beruntung pernah merasakan sakitnya dicampakkan oleh orang yang kucintai dalam hidup.  Aku sudah mengantisipasi hal itu. Yang kutau, aku hanya ingin membesarkan anakku.

      Hingga 8 bulan 10 hari. Tepat sekali, hari itu perutku mulai sakit. Aku dilarikan ke Rumah Sakit. Ya. Tanpa suamiku, dan aku mengerti jika aku harus berjuang sendiri mulai hari itu. aku hanya melihat ibu, dan kakak lelakiku bersama istrinya yang cantik. Aku ingat sekali. Aku sempat mengusap air mata kakak dengan tangan kiriku. Dan jemari tangan kananku sangat erat memegangi jemari ibu sebelum tim operasi membawaku ke ruang operasi. Ketiganya seakan menangisi nasibku. Bahkan tergambar dari raut wajah mereka hingga aku dan bayi mungilku selesai melakukan operasi.

     Saat itu, 1 minggu sudah aku dirawat. Namun, kulihat ruangannya sudah lebih sederhana, kelas menengah. Tak semewah dan selengkap semula. Dan, giliranku yang menangis. Ku ucapkan pada ketiganya jikalau umurku tak sampai melihat anak yang belum kunamai itu, dewasa, maka rawatlah ia dan sayangi ia lebih dari mereka sayangi anak sepertiku. Kataku, “Mungkin sebentar lagi, anak ini tak akan lagi mengenal ayahnya. Tak apa jika jalan cintaku ada untuk selalu ditinggalkan. Diceraikanpun aku akan menerima”.

     Usai suaraku terhenti, maka terlihat dokter dan perawat berlarian menuju pasien ruang sebelahku. Tak hanya itu. Bahkan ibu dan istri kakakkupun demikian. Sontak aku terkaget. Dan ingin rasanya juga bisa melihat pasien tetangga kamarku. Aku coba meminta meski kuyakin kakak tak kan izinkan itu, “Boleh antar aku melihat juga?”.

       “Tentu Riz. Kamu harus tau.”, jawabnya menangis.

Jawaban yang aneh bagiku. Lalu kakak memapahku berjalan perlahan, yang sebenarnya sudah bisa berdiri sejak kemarin. Dari kejauhan kulihat wajah bersinar dari pasien ruang sebelah itu. Aku tak akan pernah lupa wajahnya. Aku tak akan lupa senyumnya. Ia suamiku. Dia Zidanku yang malang. Kutau setelah ku terjatuh. Aku tak bisa berlari mengejarnya. Dan kakak pelan-pelan menceritakan semuanya padaku.

     Zidan adalah suami sekaligus manusia terbaik yang pernah kukenal. Cintanya tulus melebihi mentari walau ia tak seperti mentari yang selalu ada dikala siang datang. Ia mencintaiku dari jangkauan yang mataku tak sampai menyusurinya untuk waktu yang lama. Ia bekerja siang malam tanpa pernah kuperhatikan dan kutanya keadaannya. Bahkan sarapan atau makan untuknya saja, selalu ia siapkan sendiri. Ia siapkan kopi setiap malam untuk melembur tugasnya sendiri. Ia dosen dan pembisnis muda yang hebat, ku tau itu. Ia malah mengurus dan memperhatikanku dengan seabrag kesibukan yang kutahu itu tak mudah. Ia juga telah siapkan biaya kelahiran putra kami. Ia telah siapkan asuransi untuk kami berdua. Ia telah mempersiapkan banyak hal diluar pikiranku. Ia menyiapkan investasi berupa tanah atas nama kami yang sementara diolah penduduk desa, kemudian hasilnya dibagi dua untuk biaya hidup kami nanti. Ia juga buatkan sebuah restoran untuk kami belajar berbisnis kalau-kalau ia tak bisa bertahan lebih lama lagi. Ia menyadari betapa lemahnya dirinya yang selama ini terdiam dalam jiwa yang bertahan dalam semangat tinggi. ia mempersiapkan semuanya. Bahkan, ia yang memesankan rumah sakit khusus. Ia yang berpesan agar aku dirawat hingga benar-benar pulih. Ia pesankan ruangan rumah sakit dimana ia dirawat adalah disampingku. Agar setiap hari ia bisa mengamatiku, sembari menahan rasa sakit ginjalnya yang mungkin sebentar lagi sudah tak akan lagi berfungsi. Katanya, “Mendengar suaramu dan anak kita, itu sudah cukup sayang.”.

      “Mana mungkin aku akan mengikhlaskanmu pergi meninggalkan kami. Kamu harus bertahan. Jika kamu pergi, artinya kamu membenci kami.”, kataku memaksa.

Aku ingin ia tetap hidup. Menjalin bahtera yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Bahkan jika kami masing-masing harus arungi lautan ini hanya dengan satu ginjal saja.

     “Ginjalku pasti lebih bahagia tinggal di dalam tubuhmu. Karena ruangnya lebih luas. Iya kan? Aku cinta kamu dalam beku yang tak kau tau. Terimakasih suamiku sayang. Bertahanlah.”, kataku menangis berharap.

     “Tuhan telah menghadirkan bidadari hati,dimana dunia bahkan tak pernah mengerti. Cintaku bukan balas jasa, tapi terimakasih atas kelengkapan lain yang tak kumiliki lalu kau isi.”, katanya sumringah pada ulang tahun buah hati ke-2 kami yang ke- 3. Dan usiaku 35 tahun.

Buah Pena: Iklima Ninin Naela

Tinggalkan komentar